Bidan, Perawat dan Cleaning Servis Gelar Unjuk Rasa di Depan RS Sari Mutiara Medan Tuntut UMK dan BPJS
foto Istimewah. |
MEDAN - Muncul permasalahan di Rumah Sakit Sari Mutiara, Jalan Kapten Muslim, Kecamatan Medan Helvetia dengan puluhan perawat, bidan, Cleaning Servis (CS) dan Administrasi (adm) yang bekerja disana.
Hal tersebut diungkapkan oleh Tim Pembaharuan dan Percepatan Operasional dari Rumah Sakit Sari Mutiara Medan, melalui Laksamana Adiyansa dan Suryadi ketika ditemui wartawan di Medan, Kamis (28/3) sore.
"Jadi sebenarnya permasalahan ini muncul pada awal Oktober 2018, saat itu kita sampaikan kepada pekerja bahwa perawat dan bidan harus ada Surat Tanda Register (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP) sesuai dengan undang undang nomor 44 tahun 2009. Sebelumnya tidak ada masalah apapun, seperti ayah dan anak hubungan managemen Rumah Sakit Sari Mutiara dan pekerja," kata Ketua Tim Pembaharuan dan Percepatan Operasional, Laksamana Adiyansa.
"Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit dalam pasal 13 ayat 2 menerangkan, bahwa setiap rumah sakit harus memenuhi berbagai persyaratan."
Saat itu, banyak perawat dan bidan yang bekerja di Rumah sakit Sari Mutiara tidak memiliki STR dan SIP. Bagi yang tidak memiliki, disarankan untuk mengurus dan mendapat bantuan manajemen.
Dampak dari belum terpenuhi persyaratan, berakibat manajemen tidak bisa mengklaim dana dari BPJS Kesehatan. Selain kedua masalah itu, saat ini manajemen sedang memperbaharui berbagai izin dari rumah sakit milik Yayasan Sari Mutiara. Hal tersebut mengakibatkan rumah sakit tutup sementara.
"Ketika hal tersebut disampaikan kepada mereka (perawat dan bidan), mereka awalnya mendatangi Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kota Medan. Padahal kalau mereka mau dialog dengan manajemem, pasti ada solusi yang ditawarkan," ungkap Laksamana.
Setelah itu, PPNI mendatangi rumah sakit dan pihak rumah sakit memberikan toleransi selama dua bulan untuk mengurus STR dan SIP. Setelah ditunggu, rupanya hal tersebut tidak terselesaikan juga. Sehingga kerugian manajemen semakin besar hingga mencapai Rp 1,3 miliar, dan dana tersebut tidak bisa dicairkan di BPJS kesehatan.
"Atas hal itu, akhirnya pihak manajemen mengundang rapat seluruh perawat, bidan dan pekerja lainnya akan kondisi manajemen rumah sakit. Kita menerangkan kondisi rumah sakit yang saat ini, tujuannya agar pekerja bisa memakluminya," tuturnya.
Adapun rapat dilakukan pada tanggal 20, 21 dan 25 Februari 2019. Dalam rapat muncul berbagai dialog di antaranya pekerja dirumahkan atau mengundurkan diri.
"Kalau pekerja mau dirumahkan, maka ada perjanjian bahwa jika rumah sakit kembali buka akan dipanggil bekerja kembali, jika mengundurkan diri maka akan diberi uang pisah sesuai dengan ketentuan. Lalu jika memang masih mau bekerja, maka manajemen tetap mempekerjakan sesuai dengan tingkat pekerjaannya," ungkapnya.
Meskipun rumah sakit dinyatakan tutup sementara dari tanggal 1 Maret 2019, tetapi bagi perawat dan bidan yang masih ingin bekerja bisa dialihkan ke Universitas Sari Mutiara atau sekedar bersih-bersih di rumah sakit.
"Tetapi gajinya tidak lah seperti biasa, gaji sesuai dengan pekerjaannya. Dalam perusahaan ini tidak ada kebijakan putus hubungan kerja (PHK) pekerja," sambungnya.
Rumah Sakit Sari Mutiara Akui Gaji Perawat dan Bidan di Bawah UMK
Melalui tim pembaharuan dan percepatan operasional dari Rumah Sakit Sari Mutiara terungkap, bahwa pihak manajemen memberikan gaji kepada perawat dan bidan dibawah Upah Minimum Kota (UMK) berkisar Rp 2,9 juta perbulan.
"Kita memang menyadari kondisi perusahaan, tapi disini perusahaan tidak melanggar ketentuan tentang pembayaran upah. Sebab perusahaan tidak mampu dan bisa mengajukan penangguhan gaji ke Dinas Ketenagakerjaan," ujar anggota Tim Pembaharuan dan Percepatan Operasional, Suryadi.
Meski tidak merinci berapa gaji perawat dan bidan di rumah sakit itu, manajemen dan pekerja sudah membuat pernyataan tidak keberatan dalam rapat yang digelar pada Februari 2019. Adapun isi dari pernyataan diantaranya tidak keberatan dengan gaji dibawah UMK.
"Ada beberapa pekerja yang menyatakan tidak keberatan pada tahun 2016, 2017, 2018 dan 2019 dengan gaji dibawah UMK. Bahkan ada 200 lebih pekerja yang menerima hasil rapat dan dengan kondisi perusahaan saat ini," ungkapnya.
Disebutkan oleh Suryadi, di rumah sakit ini ada berkisar 300 pekerja. Semua pekerja berbeda beda pemikirannya, semua pekerja itu tidak ada yang di PHK.
"Ada yang menerima dengan kondisi, ada yang ragu ragu dan ada yang menolak, untuk yang melakukan aksi demo merupakan bagian dari yang menolak dengan hasil rapat," tuturnya.
Diceritakan Suryadi, sebelum aksi demo terjadi. Manajemen ingin agar dilakukan dialog (Bipartit), tetapi pihak pekerja ingin dilakukan Bipartit di lokasi yang ditentukan oleh pekerja.
"Setelah permasalahan yang dialami perusahaan timbul, pihak pekerja langsung membentuk serikat pekerja. Lalu pekerja meminta agar dilakukan Bipartit di kantor serikat mereka, kita (manajemen) tidak mau. Kita mau dilakukan di kantor rumah sakit, tapi mereka tidak mau. Sehingga permasalahan ini semakin melebar," sambungnya.
Pada intinya, menurut Suryadi bahwa manajemem selalu ingin berdialog dengan pekerja untuk menyelesaikan permasalahan. Namun Bipartit harus dilakukan di kantor rumah sakit, bukan di tempat lain.
"Pekerja harus ada inisiatif dan datanglah ke rumah sakit untuk dilakukan Bipartit dan berdialog, kita menunggu. Semua masalah akan selesai dengan musyawarah, semua ada aturannya," terangnya.
Sebagaimama diketahui, puluhan perawat, bidan, CS dan administrasi dari Rumah Sakit Sari Mutiara melakukan aksi unjuk rasa di kantor rumah sakit, pada Rabu 27 Maret 2019. Massa yang sebagian besar ibu-ibu menuntut gaji yang belum dibayarkan selama 3 bulan dan gaji selalu dibawah UMK.
Post a Comment