Pengerukan Pasir Laut di Belakang Padang, Kapolres : Izin Akan di Kaji Kembali
Masyarakat menilai aktivitas pengerukan pasir laut itu akan merusak ekosistem laut dan terkhususnya merusak mata pencarian nelayan, pertumbuhan ikan dan terumbu karang. Rabu (12/6/2019) di lantai III ruang rapat Polresta Barelang.
Mediasi tersebut juga dihadiri Kapolresta Barelang, Kapolsek Belakang Padang, perwakilan PT RP (perusahaan pelaksana pengerukan pasir laut), Camat Belakang Padang, 6 Kelurahan yakni Lurah Tanjung Sari, Lurah Sanak Raya, Lurah Kasu, Lurah Pecung, Lurah Pulau Terung, Lurah Pemping, perwakilan masyarakat seperti RT/RW dan juga LPM nya.
Feby Salah satu pengurus pemuda di Kelurahan Pulau Terong mengaku bahwa pihaknya pemuda tempatan menolak dengan keras akan aktivitas pengerukan pasir tersebut.
"Kami dari pemuda tempatan menolak akan aktivitas tersebut, kami dibesarkan oleh orangtua kami yang mencari nafkah dari hasil tangkap ikan. Intinya kami tidak terima laut kami hancur karena aktifitas itu," ucapnya, diluar ruang rapat.
Riduan selaku perwakilan masyarakat Melayu tempatan menyebutkan, sebagian masyarakat yang ada sudah menerima konpensasi dari pihak perusahaan tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu. Bahkan saat pertemuan mediasi, jelas disebutkan bahwa pemko Batam sama sekali tidak pernah mengeluarkan izin apapun mengenai pertambangan atau pengerukan di daerah Belakang Padang sejak tahun 2018 lalu.
"Berati dalam arti kata, tidak ada pekerjaan pengorokan di Batam. Terus batas titik yang telah ditentukan juga sudah jelas 2 mill, sementara setelah kita cek, batas titik bekerja mereka (PT RP) itu hanya 800 meter dan mendekati bibir pantai." Ucap Riduan dengan geram.
Menurut Riduan, apabila pengerukan pasir laut itu tetap dilakukan bisa-bisa pulau-pulau yang ada disekitar lokasi pengerukan itu dapat berakibat fatal dan tidak menutup kemungkinan akan tengelam.
"Jadi apabila dilakukan pengerokan, bisa tenggelam dong pulau disekitaran pekerjaan itu. Contohnya saja seperti pulau Nipah, kan hampir tenggelam. Walau perusahaan itu melakukan ganti rugi sebesar Rp 1 juta - 5 juta kepada masyarakat, itu tidak akan ada artinya. Sebab, untuk kedepannya mau makan apa anak, istri mereka kedepannya yang mana rata-rata masyarakat yang menolak itu berpenghasilan dari laut. Dan lokasi pengerukan itu juga merupakan salah satu pintu masuknya ikan, dan bila air keruh akibat pengerukan itu, makan ikan tidak akan mau lagi masuk ke perairan tersebut, dan terumbu karang yang ada juga akan hancur."
Lanjutnya lagi, "Kita juga sudah melaporkan kejadian/kasus ini kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dan saya juga sudah dipanggil dan dimintai keterangan, intinya kami dengan tegas mengatakan menolak aktivitas tersebut, dan nyawa kami pun akan kami korbankan atau dengan kata lain harga mati bagi kami untuk menolak pengerukan pasir laut itu, demi generasi anak, cucu kami kedepannya." tuturnya dengan tegas.
Camat Belakang Padang, Yudi Admajianto saat disambangi media ini usai melakukan rapat mediasi di Polresta terkesan enggan memberikan komentar.
"Kita kan di undang, jadi tanya saja kepada yang undang ya." tuturnya, sembari meninggalkan ruangan.
Kapolresta Barelang Kombes Hengki mengatakan bahwa hasil mediasi antara masyarakat di enam kelurahan se Kecamatan Belakang Padang dengan pihak perusahaan pengeruk pasir harus mengkaji kembali izin-izin yang dimiliki perusahaan.
"Izin yang dimiliki perusahaan dikeluarkan oleh Provinsi Kepri, jadi dari masyarakat tadi menolak, dan izin tersebut harus dikaji lagi terhadap dampak lingkungannya." Ujar Kapolres.
Sementara itu Kurniawan perwakilan PT RP mengaku sudah mengantongi izin, dan akan tetap melaksanakan aktivitas pengerukan pasir laut tersebut.
"Kita sudah punya izin, dan kita tetap akan melaksanakan aktivitas kita," pungkasnya.
(tim)
Post a Comment